7.26.2011

HADITS DHOIF DAN PALSU SEPUTAR RAMADHAN



Menjelang datangnya bulan ramadhan yang penuh dengan berkah,rahmat dan mahfirah ,maka hendaklah kita mempersiapkan keimanan kita kepada Allah dan juga mempersiapkan ilmu agama terutama masalah puasa.
Dan yang sangat kita sayangkan , betapa banyaknya para penceramah, khotib, da’I memberikan semangat kepada kaum muslimin dan muslimah untuk melakukan ibadah ini dan itu dengan menggunakan hadits Dhoif(lemah) dan bahkan hadits Maudhu’(palsu). Setiap Ramadhan, para penceramah mendapat tambahan kesibukan. Mereka diundang ke berbagai tempat untuk berceramah seputar puasa dan Ramadhan. Agar ceramahnya memiliki bobot ilmiah, mereka banyak mengutip dan menguraikan maksud ayat-ayat Alquran, Hadis atau kata-kata hikmah para ulama. Hadis-hadis yang mereka sampaikan bervariasi kualitasnya, ada yang shahih, hasan, dhaif, bahkan ada yang sangat dhaif sekali, yaitu hadis-hadis yang dikategorikan sebagai maudhu, matruk, munkar, dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui hadis palsu berkaitan dengan Ramadhan, berikut akan dituliskan minimal tujuh hadis maudhu (palsu) atau matruk (semi palsu) agar dapat diketahui kepalsuannya, sehingga tidak disebut- sebut lagi dalam ceramah-ceramah Ramadhan.

 Na’udzubillah….
Padahal Rasulullah telah bersabda dalam hadits yang shahih tentang larangan berdusta atas nama beliau

Hadits-hadist tersebut ialah :

   ……….. ”Man kadzaba a’laiya muta’ammidan palyatabawwa maq’adahu minannaar”.
Artinya :
Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ”Barang siapa yang berdusta atasku (yakni atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka”.
Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/36) dan Muslim (1/8) dll.

Artinya :
Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Barangsiapa yang membuat-buat perkataan atas (nama) ku yang (sama sekali) tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”.
Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (No. 34) dan Imam Ahmad bin Hambal (2/321)

Artinya :
Dari Salamah bin Akwa, ia berkata. Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”.
Hadits shahih riwayat Imam Bukhari (1/35) dll, hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (4/47) dengan lafadz yang sama dengan hadits No. 1,4,5,6 & 8.


Diantara hadits2 dhoif dan palsu yang banyak tersebar dibulan ramadhan adalah:
1.       “Orang yang berpuasa adalah (tetap) di dalam ibadah meskipun dia terbaring (tidur) diatas tempat tidurnya”
Hadits ini sering kali kita dengar, paling tidak, maknanya bahwa ada yang mengatakan tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah sehingga kemudian ini dijadikan alasan untuk menghabiskan waktu dengan tidur saja. Bahkan barangkali karenanya, shalat lima waktu ada yang bolong padahal kualitas hadits ini adalah DHO’IF (lemah). Hadis ini sangat berpengaruh bagi perilaku orang-orang berpuasa, sehingga mereka pada siang hari malas beraktifitas dan memilih tidur karena menganggap tidurnya suatu ibadah.
Hadits tersebut disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam kitabnya al-Jami’ ash-Shaghir, riwayat ad-Dailamy di dalam Musnad al-Firdaus dari Anas. Imam al-Manawy memberikan komentar dengan ucapannya, “Di dalamnya terdapat periwayat bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl, Imam adz- Dzahaby berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’af, Ibnu ‘Ady berkata, (dia) termasuk orang yang suka memalsukan hadits.”
Menurut Syaikh al-Albany, hadits ini ada pada riwayat yang lain tanpa periwayat tersebut sehingga dengan demikian, hadits ini bisa terselamatkan dari status Maudlu’at tetapi tetap DHO’IF.
Syaikh al-Albany juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zaw’id az-Zuhd, hal. 303 meriwayatkan hadits tersebut dari ucapan Abi al-’Aliyah secara mauquf dengan tambahan: (selama dia tidak menggunjing/ghibah). Dan sanad yang satu ini adalah Shahih, barangkali inilah asal hadits. Ia Mauquf (yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh Shahabat atau Tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya Marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). Wallahu a’lam. (Silsilah al-Ahadits adl-Dloifah wa al-Maudlu’ah, jld.II, karya Syaikh al-Albany, no. 653, hal. 106).

Hadits ini ga’ masuk akal karena pada bulan ini manusia dituntut untuk senantiasa beribadah pada RabbNya. Kalau hadits ini benar, pastilah manusia akan bermalas-malasan saat berpuasa. Bukannya mengejar amal kebaikan.
2. “Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya.. dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu ‘itqun minan naar/bebas dari neraka..”
Dua murid terpercaya Syeikh Al-Bani (wafat 2 Oktober 1999) yakni Syeikh Ali Hasan dan Syeikh Al-Hilaly mengemukakan, hadits itu juga panjang dan dicukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur.
Menurut murid ahli hadits ini, hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah juga, (no. 1887), dan Al-Muhamili di dalam Amali-nya (no 293) dan Al-Ashbahani di dalam At-Targhib (Q/178, B/ manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini, menurut dua murid ulama Hadits tersebut, sanadnya Dhaif (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid.
Ibnu Sa’ad berkata, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,” dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if.” Ibnu Abi Khaitsamah berkata, “Lemah di segala segi”, dan Ibnu Khuzaimah berkata: “Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya.” demikianlah di dalam Tahdzibut
Tahdzib (7/322-323).
Di kalimat-kalimat awal emang terlihat bagus tapi liat ja akhirnya. Allah pasti ga’ bakalan plin plan. kalau Allah menetapkan itu wajib pasti wajib. kalau sunnah, pasti sunnah. Terus, bukankah Allah sendiri yang melarang kita membeda-bedakan waktu…?
3. “Berpuasalah maka kamu sekalian sehat.”
ucapan ini terdapat pada kitab al-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah, karya Imam al-Suyuti. Dan ternyata ucapan ini bukanlah hadis melainkan perkataan seorang dokter dari SudanHadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dari ad-Dhahhak, dari Ibnu Abbas.
Nahsyal itu termasuk yang ditinggal (tidak dipakai) karena dia pendusta, sedang Ad-Dhahhaak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
Dan diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath (1/Q, 69/ al-Majma’ul Bahrain) dan Abu Na’im di dalam ath-Thibbun Nabawi, dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhai bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari Abi Hurairah. Sanadnya Dha’if (lemah). (Berpuasa menurut Sunnah Rasulullah SAW, hal. 84).
Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan dibawakan oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur tiba-tiba ada dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang tinggi seraya berkata: “naiklah!” aku berkata: “aku tidak bisa”, keduanya berkata lagi: “kami akan memberi kemudahan kepadamu”, lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya: “Suara apa itu?” Mereka menjawab: “Itu suara teriakan penghuni Neraka” Kemudian mereka membawaku mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat
sekelompok orang yang digantung dengan urat belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya: “Siapakah mereka?” Dijawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, Shalat Tarawih )
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adzariyat: 17-18).
4“Seandainya umatku mengetahui pahala ibadah bulan ramadhan, niscaya mereka menginginkan satu tahun penuh menjadi ramadhan”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu’at (Kitab tentang Hadits-hadits palsu, 2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari jalan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas’ud Al-Ghifari.
Hadits ini Maudhu’ (palsu), cacatnya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hidupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata: “Terkenal dengan kelemahan (dha’if)” beliau juga menukil ucapan Abu Nu’aim tentangnya: “Dia itu suka memalsukan hadits.” Al-Bukhari juga berkata, “Haditsnya tertolak”, dan menurut an-Nasai, “matruk” (ditinggalkan/tidak dipakai haditsnya).”!!
Dalam hadits soheh kita dilarang untuk berangan-angan yang tidak masuk akal. Allah lebih mengetahui kenapa dalam penciptaan tahun itu dibagi menjadi berbulan-bulan.
5“Ibadah bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Asakir dan ditulis pula oleh Imam Ibn al-Jauzi dalam kitabnya al-Wahiyat. Menurut Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, di dalam sanad Hadis ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya) dan matannya juga bermasalah. Sebab seandainya hadis ini shahih, maka itu berarti ibadah seseorang pada bulan Ramadhan tidak akan diterima oleh Allah sebelum yang bersangkutan mengeluarkan zakat fitrah.
Padahal tidak ada satu pun ulama yang mengatakan tentang hal itu. Karena zakat fitrah dan ibadah bulan Ramadhan, masing-masing berdiri sendiri tidak seperti wudhu dan shalat yang merupakan keterkaitan antara syarat dan masyrut.
Lagi pula zakat fitrah itu bila dibanding dengan ibadah bulan Ramadhan (puasa, tarawih, i’tikaf, membaca Alquran, shadaqah, memberi makanan untuk berbuka puasa, dan lain-lain), maka zakat fitrah terlalu kecil. Tampaknya tidak logis jika amanlan ibadah yang sekian besarnya tergantung pada ibadah yang sangat kecil.
Selanjutnya, setelah diketahui bahwa hadis-hadis tersebut adalah bermasalah karena nilainya palsu atau semi palsu, maka hadis itu harus dikubur dalam-dalam dan tidak boleh dimunculkan atau disebarluaskan kecuali dalam rangka untuk menjelaskan kepalsuan hadis-hadis tersebut seperti yang dimaksud oleh tulisan ini.
Hadits ini perawinya tidak diketahui dan para ulama menganggapnya lemah
6.  Barangsiapa berbuka pada suatu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan bukan karena sakit, maka dia tidak bisa menggantinya dengan puasa Dahr (satu tahun) sekalipun dia menjalankannya.
(Lihat, Fath al-Bariy, oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, 4/161; Misykaah al-Mashabih, tahqiq al-Albaniy, 1/626; Dha’if Sunan ath-Thirmidziy, oleh al-Albaniy, hadits no. 115; alIlal al-Waridah Fi al-Ahaadits, oleh ad-Daruquthniy,8/270)

Hadits ini disampaikan al-Bukhari sebagai komentar dalam kitab Shahih-nya tanpa sanad. Telah disambung juga oleh Ibnu Khuzaimah, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar melalui jalan Abul-Muthawwis, dari ayahnya, dari Abu Hurairah. Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul-Bari (IV/161) bahwa hadits ini memiliki 3 cacat, yang 2 di antaranya adalah; tidak diketahuinya keadaan Abul-Muthawwis, dan keraguan pada pendengaran ayahnya dari Abu Hurairah. Adapun Ibnu Khuzaimah, setelah meriwayatkannya berkata, "Kalau memang kabar ini shahih, maka sesungguhnya aku tidak mengenal Ibnul-Muthawwis dan tidak juga ayahnya." Dengan demikian hadits ini dihukumi dha`if. Adapun bagi yang telah membatalkan puasanya dengan sengaja pada Ramadhan2 yg lalu, maka cukup baginya mengganti sesuai jumlah hari yang batal tersebut. Yang benar adalah seorang hamba hanya wajib mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan
7.  Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku
Bukankah seluruh waktu itu milik Allah yang diperuntukan buat hambanya agar senantiasa beribadah pada RabbNya…? Ini adalah hadits palsu. Imam Al-‘Ajluni berkata: “Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dan lainnya dari Anas secara marfu’. Namun Imam Ibnu Jauzi menyebutkannya dalam kitab Al-Maudhu’uat (hadits-hadits palsu), demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bukunya Tabyinul ‘Ajab fi maa Warada fi Rajab.” (lihat: Kasyful Khafa’ juz 2 hlm. 510 no. 1358)
8.  “Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur’an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”
Semoga dengan penjelasan ini kita lebih berhati-hati di dalam menyaring hadits yang berkembang dan beredar di sekitar kita, dengan menyikapinya secara kritis dan bertanya tentang kualitasnya bilamana ragu untuk mengamalkannya.
Saudaraku yang sedang berbahagia, dari uraian di atas mudah-mudahan kita semua mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sehingga kita senantiasa istiqomah dalam beribadah, yang tentunya beribadah sesuai dengan tuntunan Rasul Muhammad SAW. Karena peribadahan yang dicontohkan lah yang akan dicatat oleh Allah Azzawajallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar